“Tolong buka pintunya Zema....aku minta maaf” Alfred
masih berteriak di depan pintu kayu yang tertutup.
Sementara di
bagian dalam ruangan itu Wira masih tercenung kaget melihat Zema yang tiba-tiba
menerobos masuk ke dalam kamar kosannya sambil menangis. Wira merupakan sahabat
Zema semenjak kecil jadi dia tahu betul
alasan mengapa Zema menangis.
“Dengan
perempuan mana lagi dia berselingkuh Zema?” Wira mencoba bertanya kepada Zema
sambil tangannya terus mengusap-ngusap kepala Zema yang masih menutupi wajahnya
dengan bantal.
“Bicaralah
Zema, masalah tidak akan selesai dengan kamu tetap diam seperti ini” Wira
mencoba menasihati Zema, dalam hatinya ingin sekali ia menghajar siapapun yang
berani mencoba menyakiti sahabatnya ini.
Zema masih
menangis tanpa menghiraukan perkataan Wira dan teriakan-teriakan dari luar. Masih
perih rasa hatinya, masih terbayang oleh matanya ketika melihat Alfred sedang
duduk bermesraan di bangku taman kampus dengan seorang gadis belia yang bahkan
masih menggunakan seragam sekolah putih abu-abunya.
“Suruh dia
pergi, Aku tidak ingin melihat wajah
busuknya lagi !” akhirnya Wira mendengar suara Zema meskipun masih terdengar
kesakitan dalam nada suaranya. Bagi Wira dengan hanya mendengar suara Zema pun
itu sudah cukup baginya untuk menyimpulkan bahwa Zema akan baik-baik saja
bersamanya. Sekarang yang tinggal Wira urus adalah cecunguk tengik yang masih
terus menggedor-gedor pintu kosannya.
****
“Zema tolong aku minta maaf! Beri aku
kesempatan untuk menjelaskannya, ini semua salah paham” kini teriakan Alfred yang
masih berdiri di luar pintu itu sudah dibarengi dengan gedoran keras.
Sesaat Alfred
terdiam ketika ia mendengar suara gerendel pintu yang akan dibuka, ia sangat
berharap sekali Zema mau mendengarkan penjelasannya kali ini, di pasang muka memelas seperti biasa agar Zema semakin
percaya kepadanya. Orang yang berada dalam kamar itu pun keluar, Alfred
langsung mendekat untuk menggenggam tangan kekasihnya itu. Namun, ketika ia mendongakkan
kepalanya bukan wajah cantik jelita miliki kekasihnya itu yang ia lihat, tetapi
wajah seorang laki-laki yang dikenal sebagai sahabat kekasihnya itulah yang
keluar dengan menampakkan rahang yang mengeras dan kobaran dari mata yang penuh
amarah.
Ditepisnya lengan
Alfred yang mencoba menyentuh pintu untuk membukanya oleh Wira. Ingin sekali
Wira menonjok muka bajingan di depannya ini, namun ia harus mengendalikan
dirinya agar tidak menimbulkan keributan.
“Pergilah,
Zema tidak ingin bertemu denganmu.” Ucap Wira mencoba menahan amarahnya sedatar
mungkin
“Aku harus
berbicara dengan Zema, Wir. Tolong bantu aku, kamu adalah sahabat terbaik Zema”
Alfred mencoba memelas kepada Wira, namun Wira tak pernah menghiraukannya
sedikitpun.
“Pergilah,
sebelum aku lepas kendali untuk menghabisimu sekarang juga” jawab Wira sambil
menggertakan giginya.
Dilihatnya Alfred
yang mencoba untuk memelas lagi, namun dengan tatapan tajam dari Wira, Alfred
pun pergi tanpa bicara. Wira kembali masuk ke kamarnya untuk menemui Zema. Dilihatnya
Zema yang kini sudah lebih tenang setelah meminum teh hangat yang dibuatkan oleh
Wira sesaat sebelum Wira memasuki kamarnya.
*****
“Sekarang,
apakah sudah mau bercerita?” tanya Wira perlahan kepada Zema, yang dibalas hanya
dengan anggukan kepala Zema. Mengalirlah cerita yang dialami Zema tadi sore
mengenai apa yang dilihatnya.
“Sudah
kubilang Zema, buaya busuk itu sudah seharusnya kau tinggalkan semenjak dua
tahun yang lalu.”
“Tapi dulu aku
mencintainya, Wira!” jawab Zema dengan mulai mengeluarkan air matanya lagi.
“Walaupun
sudah diselingkuhi beberapa kali? Berapa banyak hati yang kau miliki
sebenarnya?” Wira mulai geram menasihati Zema, ia berbicara sambil berjalan bolak-balik
dalam kamarnya, sementara Zema masih duduk memeluk bantal pisang yang dulu pernah
Zema berikan kepada Wira sebagai hadiah ulang tahunnya dua tahun yang lalu.
“Ya, aku tahu
kemarin-kemarin aku memang bodoh karena terus mempercayainya, tapi aku janji
sekarang ini adalah yang terakhir, aku tidak akan pernah termakan oleh omongan Alfred
lagi.”
“Sudah sepuluh
kali aku mendengar kalimat yang sama itu dari mulutmu.” Wira mencemooh
perkataan Zema. Zema hanya terdiam mendengar perkataan Wira yang memang itulah
kebenarannya.
“Ya, aku janji
ini untuk terakhir kalinya kau mendengar kalimat itu” Zema berbicara seakan
memohon kepada Wira, entahlah sebenarnya Zema pun tak mengerti mengapa ia harus
memohon.
“kita lihat
saja nanti” jawab Wira seperti biasanya.
Malam itupun
berakhir setelah Wira mengantar Zema pulang kerumahnya.
*****
Matahari tepat
sembilan puluh derajat di atas tanah yang dipijak oleh Wira. Peluh dan keringat
membasahi tubuhnya yang sedang berjalan menuju kantin kampus. Di sanalah ia
akan menemui Zema yang sedari tadi menunggunya, entah kabar apa yang membuat
Zema terdengar bahagia ketika meneleponnya tadi. Dari jauh Zema sudah
melambai-lambaikan tangannya ke arah Wira agar Wira mendekat ke tempat duduk
yang telah Zema pesan.
“Wira, disini!”
teriak Zema kepadanya
“Duduk Wir,
aku sedang bahagia sekarang, jadi aku sudah memesankan es kelapa muda
kesukaanmu” Zema kembali berbicara dengan nada riang seperti biasa yang Wira
kenal, sedangkan Wira hanya menjawab dengan mengangkat kedua alisnya sambil
tersenyum, kemudian duduk dan meminum es kelapa muda yang memang pas untuk Wira
yang sedang kepanasan dan kehausan.
“Wira, aku
udah balikan lagi sama Alfred tadi pagi.” Wajah Zema yang berseri-seri langsung
terkena semburan dari es kelapa yang sedari tadi diminum oleh Wira.
“apa?” tanya
wira sambil mengerutkan keningnya mendalam tanpa menghiraukan Zema yang
mengomel karena wajahnya bercucuran air kelapa muda.
“Ya, ternyata
kita salah paham Wira, aku juga salah karena tidak mendengar penjelasannya terlebih
dahulu, ternyata gadis SMA itu adalah sepupu Alfred, bahkan nanti aku mau dikenalkan
dengan semua keluarga Alfred agar aku kenal dengan mereka juga, katanya itu
bukti bahwa dia serius sama aku” Zema berbicara dengan nada ceria yang
menggebu-gebu.
“Hemmmh” hanya
itu jawaban Wira sambil mengaduk-ngaduk es kelapanya dengan tambah tidak
bersemangat.
“Ko Cuma hemmh
doang sih jawabannya? Ga bakal ngasih selamat?” tanya Zema manja
“Aku tidak
pernah percaya dengan omongan buaya busuk itu” jawab Wira dengan serius
“Tapi kamu
percaya sama aku kan? karena aku percaya sama Alfred.” timpal Zema sambil
tersenyum manis kepada Wira. Kalau sudah senyuman mautnya itu yang Zema
keluarkan kepada Wira, Wira tidak akan mampu lagi menghancurkan kebahagiaan Zema dengan segala opininya kali ini. Dan pembicaraan
mereka pun mengalir lagi dengan normal.
“Wir, kamu tau
Lusi kan sahabat aku di kampus?” tanya Zema tiba-tiba
“Iya, kenapa? Jangan
bilang kamu mau menjodohkan aku dengan dia?” jawab Zema yang sudah mulai
mengerti jalan pikiran sahabat yang sudah dikenalnya sejak kecil ini.
“Lusi baik Wira,
dia cantik, manis, setia kawan, pintar lagi, apalagi yang kurang coba?” Zema
mempromosikan sahabatnya itu kepada Wira yang sudah lama menyendiri tanpa
pasangan.
“Ini nih, di sini
rasanya kosong” jawab Wira sambil menepuk-nepuk dada sebelah kirinya.
Zema melihat
Wira seperti sedih, mungkin Zema pikir Wira teringat lagi mantan pacarnya yaitu
Dina yang meninggal karena penyakit leukemia yang tidak tertolong sehingga
meninggal dunia di usia mudanya.
“Jalan-jalan
yu... aku pengen mentraktir kamu nonton, katanya ada film bagus” sengaja Zema
mengajak Wira jalan-jalan untuk menghiburnya agar tidak sedih lagi.
“okay” jawab
Wira pendek sambil kemudian menghabiskan minumannya.
*****
Seperti tujuan
utama mereka, Wira dan Zema menonton film yang Wira pilihkan, meskipun awalnya
Zema tidak mau diajak menonton film Action tapi mengingat tujuan Zema membawa
Wira kemari adalah untuk menghibur Wira akhirnya Zema menurut ketika di bawa
masuk ke dalam gedung bioskop itu, pada akhirnya Zema hanya duduk, menutup mata
dan telinga walaupun filmnya baru akan mulai, hal itu membuat Wira
menertawakannya dengan keras sampai wajah Zema memerah menahan malu.
“Sampai kapan
kamu akan menertawakan aku Wira?” tanya Zema sambil cemberut kearah wira yang
masih saja menahan perutnya sambil tertawa tanpa menjawab pertanyaan dari Zema.
“Berhenti
Wira, aku sudah cukup malu” Zema menyuruh wira lagu untuk diam hingga kali ini
Wira berhenti untuk menertawakannya.
“Iya, sorry,
sorry, haha.” Jawab Wira sambil menggandeng tangan Zema.
“Makan yu,
tapi kamu yang traktir.” Pinta Zema kepada Wira sambil mengeluarkan senyuman
maut milik Zema.
“Iya, ayo, di sana
aja” jawab Wira sambil menunjuk ke food court yang berada didepannya. Wira
memang selalu mengabulkan permintaan apapun yang Zema inginkan.
Sesaat mereka
duduk sambil memilih-milih makanan yang akan mereka makan, sambil menunggu
makanan tiba seperti biasa mereka mengobrol tak tentu arah, entah bagaimana
selalu ada saja yang bisa mereka bicarakan entah itu isu masalah politik bahkan
mengenai gosip para artis. Obrolan mereka hanya sesekali terganggu oleh para
waitress yang membawakan pesanan mereka. Kini segelas jus strowbery berada di
depan Wira, sedangkan segelas jus alpukat dan nasi goreng telah berada di depan
Zema, Wira masih celingukan menunggu pesanan makanannya datang, hingga matanya
tertuju pada satu titik, di mana ada seorang laki-laki berbaju merah yang
sedang merangkul pasangannya.
“kenapa Wira?”
tanya Zema mengganggu konsentrasinya
“Lihat arah
jam dua” jawab Wira ke Zema yang langsung ditanggapi Zema dengan segera berdiri
setelah melihat objek yang di tunjukan oleh Wira.
“Ayo, aku
ingin memberikan pelajaran” dibawanya segelas jus alpukat yang baru sedikit
diminumnya mendekati kepala laki-laki berbaju merah itu, Wira mengikuti Zema
untuk melindunginya.
*****
“Sayang tau
ga, Cuma kamu yang bisa membuat hati aku sebahagia ini” Alfred berbisik
ketelinga seorang perempuan di sampingnya yaitu bernama Lusi yang tangannya ia
genggam.
“Ohya?” tanya Lusi
dengan berbinar.
“Tentu, dari semua
mantan-mantan pacar aku, Cuma kamu yang paling lucu, manis dan cantik” Lusi
semakin berbunga-bunga menerima pujian dari Alfred. Mereka berdua bertindak
seperti pasangan –pasangan kasmaran pada umumnya. Saling menumpahkan pujian
dari satu ke yang lainnya.
“Kamu juga
manis Alfred” puji Lusi kepada Alfred sambil kepalanya ia sandarkan ke dada
Alfred.
“Nih, biar
kamu tambah manis” tiba-tiba seorang telah berani mengguyur muka Alfred dengan
Jus Alfukat yang membuat Alfred berbalik geram.
“Hey siapa kamu?” tanyanya tanpa memandang orang yang
berdiri di depannya sambil sibuk membersihkan wajah dan baju merahnya yang kini
menjadi kotor. Ketika Alfred mendongakkan wajahnya dan menatap dua orang yang
sekarang ada di depannya itu ia terkaget, ternyata berdiri di sana seorang
wanita yang cantik dan sangat dikenalnya bersama laki-laki tampan di sampingnya siap menghajar wajah
Alfred.
*****
Hari kini
sudah senja, namun Zema masih tidak ingin berpindah dari tempat duduknya di taman
ini. Setelah memergoki Alfred sedang menyelingkuhinya lagi, yang bahkan
sekarang selingkuhan Alfred adalah Lusi sahabat dekat Zema sendiri. Sekarang
Zema berpikir mengenai pernyataan Alfred terakhir kali mengenai gadis SMA yang
terakhir kali diselingkuhinya adalah sepupunya merupakan kebohongan juga. Seharusnya
Zema percaya akan perkataan Wira sedari awal. Wira masih setia duduk di samping
Zema yang sedari tadi hanya terdiam memandang danau.
“Terimakasih
Wira” Ucap Zema tiba-tiba, Wira hanya menjawab dengan senyuman.
“kamu tidak
menangis?” Tanya Wira kepada Zema dengan hati-hati.
Wira merasa
heran melihat Zema yang tidak mengeluarkan air matanya. Biasanya ia menangis
lama di kamar Wira selama beberapa jam, namun kali ini Wira tak melihat setitik
pun air mata di pipi Zema.
“Untuk apa?”
jawab Zema. Wira kembali terdiam kembali mendengar pertanyaan Zema.
“Terimakasih
Wira untuk mau berakting pura-pura mencintaiku tadi” ucap Zema sambil menghadap
kearah Wira. Sesaat Wira terdiam memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sejak dulu
mengganjal di hati Wira, entah sejak kapan Wira pun tak tahu tepatnya kapan. Dia
harus mengeluarkan segala ganjalan hatinya sekarang, entah momennya tepat atau
tidak, Wira berpikir keluarkan sekarang atau tidak sama sekali.
“Aku tidak
pernah pura-pura mencintaimu Zema” jawab
Wira serius.
“Ya, aku tahu
itu, kamu selalu mencintaiku sebagai sahabatku sedari dulu” jawab Zema sambil
tersenyum manis kearah Wira.
“Tidak Zema,
bukan cinta sebagai sahabat yang berada di sini, tapi cinta yang ada di sini jauh
lebih dari sahabat” ucap Wira sambil menepuk dada sebelah kirinya.
“Aku
mencintaimu Zema, entahlah sejak kapan, mungkin semenjak kau pertama kali menangis
di kamar kos ku karena diselingkuhi.” Tambah Wira bersungguh-sungguh. Tak ada
humor dalam setiap katanya.
Zema yang
mendadak mendapat pernyataan seperti itu dari Wira tidak bisa mengatakan
apa-apa, mungkin kaget, itu yang bisa digambarkannya. Mulut Zema seakan mendadak
membisu. Matanya masih melongo menatap mata Wira yang menatap balik lebih tajam
ke dalam mata Zema.
***end***
*mungkin ada yang mau memberi masukan kira-kira judulnya seperti apa???